KOTAJAMBI, AksesNews – Persoalan kaum tani di negeri ini semakin hari semakin memprihatinkan. Masalah yang paling mendasar adalah sulitnya akses terhadap lahan untuk bercocok tanam, bahkan perluasan lahan oleh perusahaan perusahaan besar pun masih terjadi secara masif di Indonesia.
Begitu pula kondisi petani yang divisualkan ke dalam film dokumenter berjudul “Silat Tani” karya Ekspedisi Indonesia Biru. Film berdurasi 73 menit ini berhasil menyedot perhatian puluhan peserta nonton bareng (Nobar) yang diadakan Yayasan Beranda Perempuan Jambi di sekretariatnya, Minggu malam (25/09/2022).
Mengapa tidak, film ini menayangkan betapa keras dan menyedihkannya proses perujuangan kaum tani dalam mempertahankan haknya atas tanah dari eksvansi lahan perusahaan. Di Dieng salah satunya, petani dihadapkan mulai dari persoalan lahan perkebunan yang rusak, hingga kesulitan mengakses air bersih akibat aktifitas perusahaan pembangkit listrik geothermal.
Sesekali suasana menegangkan menyelimuti ruangan yang digunakan untuk nobar. Cuplikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap petani tidak berdaya yang dipaksa menyerahkan lahannya ke perusahaan, sontak membuat remuk hati penoton, hingga ada yang merintih seakan ikut merasakan sakitnya perjuangan kaum tani.
Masifnya penguasaan lahan skala besar baik oleh perusahaan swasta maupun perusahaan milik negara sudah melahirkan banyak persoalan di negeri ini, terlebih kaum tani mulai dari krisis pangan hingga krisis air bersih. Padahal secara konstitusi, sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat adalah hak sebagai warga negara, dan itu dijamin oleh Undang-undang yang harus diselenggarakan negara.
Feri Irawan, sebagai narasumber pada sesi diskusi menyampaikan beberapa poin penting yang bisa dipetik dan dipelajari dari film tersebut. Menurutnya persoalan yang dihadapi petani di Indonesia hari ini memang sangat rumit, maka dari itu menjadi tugas semua kalangan bersama-sama untuk memecahkannya.
“Silat tani itu banyak hal yang dilihat. Saya melihatnya seperti roh silatnya maju mundur maju mundur. Di jambi sendiri di Tanjabtim ada kelompok koperasi yang lumayan mapan di persawahan tadah hujan. Manajemen koperasinya cukup baik dan berjalan. Namun persoalannya adalah di tata kelola lahan, seperti masalah drainase, kondisi hama, itu yang sebenarnya petani perlu bantuan, bukan dengan uang, tapi soal teknisnya,” jelas Direktur Perkumpulan Hijau itu.

Tidak sampai di situ saja, aktivis lingkungan yang juga akrab disapa bang Fei ini memprediksi, dengan berbagai persoalan yang dihadapi petani sekarang kemungkinan besar 5 (lima) tahun yang akan datang Provinsi Jambi mengalami krisis pangan. Perluasan perkebunan kelapa sawit telah merubah pola bertani di tengah masyarakat.
Penataan tata ruang yang buruk juga menjadi persoalan besar yang harus diselesaikan pemerintah, karena dinilai berdampak terhadap ketersediaan pasokan pangan di Jambi. Tidak adanya pembagian wilayah pengelolaan lahan yang baik akan menjadi ancaman ketahanan pangan di Jambi khususnya. Malah, lanjut Feri, sekarang trend pemerintah mendorong produksi yang merupakan produksi hilir.
“Kalau dulu dari kampung menjual ikan, sayur dan padi ke kota, sekarang terbalik. Kebutuhan pokok dipasok dari kota. Itu terjadi hampir di semua kabupaten di Jambi. Hal ini terjadi akibat dari losnya tata kelola. Tanjab Barat itu dulu lumbung padi, dia penyuplai beras di Jambi, sekarang tidak lagi, sudah berubah menjadi kebun sawit semua,” ujarnya.
Masih dalam kesempatan yang sama, di sebelah narasumber sudah ada Direktur Beranda Perempuan Jambi, Ida Zubaida. Dari sudut pandangnya setelah menyimak dan menganalisa, sebenarnya ada banyak hal dalam film Silat Tani yang berkaitan dengan kerja kerja Beranda Perempuan Jambi selama mendampingi kaum perempuan di desa.
Film ini, kata Ida, memberikan pemahaman bahwa persoalan petani hari ini bisa dipecahkan dengan organisasi yang kuat. Kenyataan-kenyataan di dalam film tersebut juga mereka hadapi di lapangan, bahwa perempuan-perempuan yang melangsungkan perkawinan di usia anak lahir dari petani yang mengalami persoalan yang sama.
“Desa Pulau Raman itu dikepung lahan perkebunan kelapa sawit. Dengan menikahkan anak perempuannya, petani di Pulau Raman menganggap bahwa hal tersebut akan meringankan beban biaya keluarga. Namun kenyataannya tidak. Perkawinan usia anak malah akan memperburuk situasi ekonomi di dalam keluarga petani,” kata Ida menjelaskan.
Nobar Film Silat Tani telah berhasil memancing diskusi panjang yang produktif dari para peserta mulai dari kalangan mahasiswa, aktivis lingkungan, aktivis perempuan, dan kalangan lainnya yang hadir pada saat itu. Perbedaan pendapat, saling berbagi dan bertukar pikiran akan menjadi langkah efektif untuk solusi dari sebuah persoalan. (Hp)