OPINI, AksesNews – Indonesia telah memilih jalan untuk pergantian kekuasaan negara melalui jalur demokrasi. Demokrasi tersebut teraktualisasikan dalam pemilihan umum (pemilu). Agenda 5 tahunan ini sudah mulai terasa saat ini walaupun pemilu masih kurang lebih 8 bulan lagi. Tentu puncaknya nanti adalah tanggal 17 April 2019, yang menariknya adalah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan pemilihan Anggota Legislatif.
Semua rakyat Indonesia yang sudah berusia 17 tahun atau yang sudah pernah menikah akan menggunakan hak pilihnya tidak terkecuali Aparatur Sipil Negara (ASN). Sedangkan untuk pengecualian hanya berlaku bagi TNI dan Polri sebagai alat negara tidak boleh berpolitik praktis sebagaimana yang diatur dalam TAP MPR Nomor VII Tahun 2000. ASN dan TNI-POLRI sama-sama digaji oleh negara, namun untuk hak politik dalam hal ini hak pilih berbeda. ASN punya hak pilih sedangkan TNI-POLRI tidak punya hak pilih.
Secara nasional jumlah ASN adalah 4,5 juta berdasarkan data dari Kemenpan-RB tahun 2018. Sungguh merupakan potensi suara yang besar jika ada calon atau sekelompok orang berniat untuk mempolitisasi memanfaatkan untuk menang pada pemilu mendatang. Hak pilih ASN tersebut dianggap adalah peluang yang besar jika mampu untuk dimanfaatkan. Dalam dunia kerja ASN, struktur aparatur berjenjangan sesuai dengan pangkat dan jabatan. Disinilah celah bagi sebagian oknum ASN menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya.
Oknum ASN yang menduduki posisi jabatan dan pangkat yang tinggi dapat saja menggunakan pangkat dan jabatannya untuk menekan bawahan, mempengaruhi dan mengarahkan pilihan politik saat pemilu. Ada kesalahan sebagian oknum ASN dalam menafsirkan hak pilih dengan berpolitik praktis. ASN pada prinsip tidak boleh berpolitik praktis, menjadi pengurus partai, bahkan sekarang menjadi simpatisan atau ikut acara partai politik tertentu akan mendapatkan sanksi disiplin dari institusi masing-masing.
Namun di tengah masyarakat masih ditemui oknum ASN yang berani berpolitik praktis ada yang terang-terangan dan ada juga yang sembunyi-sembunyi. Ada fenomena menarik yang terjadi saat ini, pejabat atau ASN yang punya jabatan, sebagian istri atau suaminya atau anaknya dicalonkan menjadi calon anggota legislatif. Mulai dari sekarang pejabat atau ASN yang punya jabatan tersebut melakukan grilya politik dengan memanfaatkan pengaruh dan kekuasaannya dengan membuat tim sukses.
Tim-tim sukses yang dibuat tersebut itupun berasal dari bawahannya yakni oknum-oknum ASN juga. Sepintas tidak ada yang salah, sebagai seorang pejabat atau ASN yang punya jabatan mendukung keluarga untuk jadi anggota legislatif adalah hak masing-masing. Jika konteksnya adalah pejabat atau ASN yang punya jabatan tersebut menggunakan hak pilihnya untuk memilih keluarganya tidak menjadi masalah, namun jika menggunakan kekuasaan, pengaruh apalagi fasilitas negara (uang atau barang) untuk kepentingan keluarga jelas itu menjadi masalah.
KementerianPAN-RB merespon fenomena ini dengan beragam sanksi yang mengancam Aparatur Sipil Negara (ASN) termasuk jika tidak menjaga netralitas dalam Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg), dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 42 Tahun 2004, terhadap pelanggaran berbagai jenis larangan kepada ASN dikenakan sanksi moral, Selanjutnya atas rekomendasi Majelis Kode Etik (MKE), ASN yang melakukan pelanggaran kode etik selain dikenakan sanksi moral, dapat dikenakan tindakan administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “Tindakan administratif dapat berupa sanksi hukuman disiplin ringan maupun hukuman disiplin berat sesuai dengan pertimbangan Tim Pemeriksa.
Disamping itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 07 tahun 2017 tentang Pemilu beberapa tindakan tertentu diancam sebagai sebuah tindak pinana yakni sebagaimana yang tercantum dalam :
Pada Pasal 494 “Setiap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, perangkat desa, dan/ atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama I (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.
Pada Pasal 547 “Setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Pada Pasal 548 “Setiap orang yang menggunakan anggaran pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah (BUMD), Pemerintah Desa atau sebutan lain dan badan usaha milik desa untuk disumbanglan atau diberikan kepada pelaksana kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak RpI.OOO.OOO.OOO,OO (satu miliar rupiah)”.
Maka berdasarkan aturan yang ada dan ancaman hukuman tersebut di atas seharusnya menjadi perhatian dan peringatan bagi oknum pejabat dan ASN itu sendiri. Jika tetap melanggar berarti telah siap untuk menanggung resiko yang akan terjadi. Karena menegakkan hukum pemilu khususnya terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh oknum pejabat atau ASN adalah kewajiban setiap orang. Maka siapapun boleh mengambil peran untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum khususnya kepada pihak Bawaslu atau langsung ke pihak Kepolisian.
Penulis: Abdurrahman Sayuti, SH
Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) Provinsi Jambi