OPINI, AksesNews – Bak istilah pedang bermata dua, perjanjian kerja sama diplomatik Indonesia-China dapat menjadi contoh nyata istilah tersebut. Joint Statement, yang ditandatangani pada 9 November lalu menimbulkan peluang besar untuk memperkuat kerja sama diplomatik antara Indonesia-China.
Tetapi, disisi lain hal ini malah memunculkan adanya tantangan besar terkait kedaulatan Indonesia yang memerlukan perhatian kita semua.
Joint Statement ini membahas kerja sama di berbagai sektor, yang mana di dalamnya termasuklah keamanan dan pengelolaan sumber daya yang ada di laut. Namun, perjanjian ini seakan mengingatkan kembali isu lama mengenai klaim tumpang tindih di Laut Natuna Utara.
Walaupun kesepakatan ini tidak secara langsung membenarkan adanya batas-batas kedaulatan Indonesia yang dianggap tumpang tindih. Tetap saja hal ini perlu pemahaman yang lebih.
Poin ke-9 dari Joint Statement ini menimbulkan banyak sekali tanda tanya terkait keberlangsungan kedaulatan dan kendali kita sebagai negara yang memiliki hak di bagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Sebab Laut Natuna Utara merupakan bagian dari ZEE Indonesia yang telah memenuhi peraturan yang ada pada Konferensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 1982) yang merupakan perjanjian internasional terkait Laut.
Laut Natuna Utara ini sangat penting keberadaanya sebagai wilayah kedaulatan Indonesia karena wilayahnya yang strategis dengan potensi besar dapat berdampak dalam keberlangsungan negara kita, khusunya dibidang ekonomi.
Sayangnya, “The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims….” isi poin ke-9 paragraf ke-2 ini seakan membenarkan adanya tumpang tindih di wilayah kedaulatan Indonesia.
Hal ini perlu dikhawtirkan, mengingat China tetap menggunakan klaim “Nine-Dash Line” walaupun hal ini tidak berdasar dan menyalahi aturan UNCLOS 1982. Kerja sama yang kuat memang penting, tetapi kita harus memastikan kedaulatan kita tidak terganggu dalam proses ini.
Lantas pasti akan timbul pertanyaan, apakah hal ini akhir dari segalanya? Apa kita akan kehilangan sebagian kedaultan di wilayah Laut kita? Pemerintah menegaskn kembali bahwa kesepakatan ini bukan berarti Indonesia membenarkn adanya klaim tumpang tindih khusunua di Laut Natuan Utara.
Oleh karna itu, alih-alih memandang Joint Statement ini semata-mata sebagai ancaman, kita bisa melihatnya sebagai suatu kesempatan, peluang, dan titik balik untuk upaya yang lebih positif. Pemerintah telah menunjukkan komitmennya untuk menjaga stabilitas kawasan melalui jalur diplomasi, dan hal ini patut diapresiasi.
Namun, kesepakatan ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan laut membutukan pendekatan menyeluruh mulai dari peningkatan patroli, penguatan hukum maritim, hingga pendidikan masyarakat tentang pentingnya laut bagi Indonesia.
Sebagai rakyat Indonesia penting bagi kita untuk mengetahui isu-isu terkini mengenai kedaulatan wilayah Indonesia, jangan sampai ketidakpedulian masyarakat akhirnya membuka celah bagi pihak lain. Dalam perjanjian internasional seperti ini, partisipasi masyarakat menjadi elemen yang tak terpisahkan.
Masyarakat dapat berperan aktif dengan cara, mengawasi implementasi kebijakan, menjadi penggerak kesadaran publik, dan mendorong pemerintah untuk melakukan adanya transparasi dalam hal-hal diplomatik.
Joint Statement RI-China adalah langkah diplomasi yang membawa tantangan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk membawa kesempatan baru. Selain pemerintah masyarakat memiliki peran penting dalam memastikan bahwa perjanjian ini berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip kedaulatan dan kepentingan nasional.
Dengan partisipasi aktif, pengawasan yang ketat, dan kesadaran kolektif, kita dapat menjaga kedaulatan laut Indonesia tetap utuh. Mari jadikan isu ini sebagai permasalahan bersama, karena kedaulatan laut adalah aset yang tidak ternilai untuk masa depan bangsa.
PENULIS: Riska Awliah (Mahasiswa Universitas Jambi Fakultas Hukum)