Beranda Akses Cacatnya Sistem Pendidikan di Indonesia

Cacatnya Sistem Pendidikan di Indonesia

ARTIKEL, AksesNews – Pendidikan bukan masalah sepel, apabila dahulu menempuh pendidikan bukanlah suatu keharusan, sekarang justru berlaku sebaliknya. Para orang tua masa kini berbondong-bondong untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang terbaik, bahkan tidak jarang dari mereka memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah internasional sekalipun. Hal ini dikarenakan oleh semakin majunya peradaban yang menyebabkan adanya perubahan pola pikir pada generasi sekarang, sehingga pendidikan saat ini dianggap sangat penting dan dipercaya dapat menjadi salah satu faktor yang menunjang kemajuan bangsa.

Saat ini Program Wajib Belajar (Wajar) 12 tahun menjadi salah satu program utama pemerintah dalam bidang pendidikan.  Berkat program tersebut tingkat buta huruf di Indonesia dapat menurun karena jumlah anak putus sekolah atau tidak bersekolah relatif lebih kecil daripada generasi sebelumnya. Walaupun tentunya hal ini belum dapat menjamin bahwa seluruh anak di Indonesia akan mampu menempuh pendidikannya secara penuh, karena masih banyak faktor lain yang akan mempengaruhi mereka, salah satunya tingkat kemiskinan di Indonesia yang masih tinggi.

Dibalik semakin berkembangnya pendidikan di Indonesia, ada satu hal yang selalu menjadi pertanyaan umum. Mengapa setelah sekian lama pendidikan di Indonesia belum merata? Bahkan sepertinya terdapat perbedaan yang signifikan antar wilayah satu sama lain. Pada umumnya pendidikan di pulau Jawa-Bali akan relatif lebih baik dibandingkan kepulauan lainnya, padahal seharusnya semua pengajar memiliki syarat keahlian yang setara. Hal ini dapat dilihat dari perolehan nilai ujian nasional ataupun ujian-ujian lainnya. Anak-anak yang bersekolah di pulau Jawa-Bali jauh lebih unggul dibandingkan anak-anak di kepulauan lainnya. Kesenjangan ini tentunya bukan hanya berdampak kepada nilai ujian nasional saja, melainkan berdampak pada aspek-aspek lainnya.

Pendidikan ditempuh guna mendapatkan bekal ilmu untuk masa depan mereka. Dan pendidikan yang mereka tempuh pun akan menjadi patokan dalam penilaian kualifikasi dalam melamar pekerjaan. Dengan kata lain, dengan adanya kesenjangan sistem pendidikan tentunya dalam hal mencari pekerjaan pun akan menjadi senjang pula. Bagaimana bisa pendidikan seseorang dijadikan patokan kualifikasi keahlian pada saat sistem pendidikan itu sendiri mengalami kesenjangan? Ditambah tidak jarang perusahaan-perusahaan ternama hanya menerima lulusan-lulusan sekolah ataupun universitas ternama untuk bekerja. Secara tidak langsung hal itulah yang menyebabkan mengapa tingkat pengangguran masih tergolong tinggi. Bagaimana mereka tidak akan menganggur apabila telah memenuhi kualifikasi jurusan yang dicari tetapi sayangnya tidak berasal dari universitas ternama.

Coba bayangkan apabila sistem pendidikan di Indonesia merata, tentunya akan banyak sekali generasi unggulan bangsa ini, dan tentunya mereka tidak terpusat pada Jawa-Bali saja, melainkan dari Sabang sampai Merauke memiliki keahlian yang sama. Apabila kita bertanya kenapa bisa berlaku kesenjangan tersebut? Tentu jawabannya akan beragam. Mulai dari letak geografis yang berbeda, ataupun kualifikasi tenaga pengajarnya yang juga tidak sama. Padahal pada dasarnya hal itu akan dapat diatasi apabila memang pemerintah berfokus untuk membenahi sistem yang ada. Letak geografis sebenarnya tidak dapat dijadikan sebuah alasan, karena memang begitulah adanya. Tetapi setidaknya kesulitan itu dapat dimitigasi sedemikian rupa agar anak-anak di daerah tertinggal semakin maju, bukan justru semakin terbelakang akibat susahnya akses pendidikan bagi mereka dengan alasan kondisi geografis daerahnya.

Perbedaan kualifikasi tenaga pengajar pun sepertinya dapat dimitigasi apabila pemerintah memang memperhatikan tenaga pengajar yang ada. Perbedaan kualifikasi tersebut dapat diatasi dengan masifnya pelatihan ataupun diklat yang diberikan kepada para tenaga pengajar, khususnya untuk mereka yang berada pada daerah tertinggal. Sayangnya hal-hal kecil seperti itu kurang diperhatikan, padahal ilmu tidak memiliki batasan, dengan kata lain walaupun telah menjadi tenaga pengajar bukan berarti mereka tidak harus lagi belajar. Selain itu kesejahteraan tenaga pengajar di Indonesia pun sepertinya kurang diperhatikan oleh pemerintah, karena gaji yang mereka dapatkan tidak setimpal dengan pengorbanannya. Hal ini pun secara tidak langsung akan mempengaruhi kinerja tenaga pengajar, bahkan apabila terus menerus seperti ini tidak mustahil Indonesia akan kekurangan tenaga pengajar karena profesi ini dianggap tidak begitu menghasilkan untuk mereka, walaupun memang para tenaga pengajar ini disebut sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, tetapi mereka tetaplah manusia yang punya kebutuhan dan tanggung jawab untuk dirinya sendiri ataupun keluarganya.

Perbedaan persepsi dan permasalahan-permasalahan seperti inilah yang sebenarnya menjadi momok besar bagi Indonesia. Bagaimana negara kita bisa maju jikalau pendidikannya saja masih terpusat hanya pada wilayah-wilayah tertentu saja? Dan bagaimana negara kita bisa maju apabila tenaga pengajar yang berkewajiban untuk menyalurkan ilmu ini saja belum sejahtera hidupnya? Apabila input yang diberikan kepada anak-anak di seluruh wilayah Indonesia sama, tentunya peluang untuk menghasilkan output yang sama pun semakin besar. Dan pemikiran bahwa sekolah a lebih baik, sekolah b kurang baik dan sebagainya pun dapat diatasi secara tidak langsung, karena apabila merata maka semua sekolah seharusnya sama baiknya.

Menciptakan perubahan memang susah, tetapi tidak ada salahnya untuk berproses sedikit demi sedikit, bukan justru diam atau justru mundur kebelakang. Apabila kita pikirkan lagi, bagaimana bisa sebuah sekolah menjadi terpetak-petak demikian? Padahal tujuan pendidikan dimana pun itu pasti sama, yakni sama-sama untuk mencerdaskan suatu bangsa. Bagaimana bisa ada sebuah kejadian dimana anak-anak dipisahkan menurut kepintaran mereka, dengan kata lain anak-anak pintar akan disatukan menjadi kelas unggul, dan anak-anak yang dianggap “kurang” pintar disatukan menjadi kelas reguler. Dari hal itu saja sudah menunjukkan kesenjangan, jangankan berbeda wilayah, ini terjadi di suatu sekolah, satu atap, dan satu lingkungan. Dan bagaimana bisa anak-anak ini mengembangkan kepercayaan dirinya akan kemampuannya apabila sejak awal mereka telah dibeda-bedakan. Padahal pada dasarnya semua yang bersekolah tentunya ingin menjadi pintar. Stereotip yang diciptakan ini jugalah yang sebenarnya menghambat kemajuan sistem pendidikan di Indonesia.

Sebagai contoh kasus stereotip didunia pendidikan adalah anak yang tidak pandai mata pelajaran matematika akan dilabeli bodoh, padahal sangat mungkin ia hanya tidak ahli disana. Dan disinilah letak permasalahannya, dimana sistem pendidikan di Indonesia mengharuskan anak didiknya untuk menguasai seluruh mata pelajaran yang ada, padahal jikalau kita lihat lagi belum tentu semua tenaga pengajar ataupun pemangku kebijakan juga menguasai hal tersebut. Dengan kata lain, sistem pendidikan di negara ini menuntut seseorang untuk sempurna, padahal pada hakikatnya tidak ada yang sempurna bagi manusia. Bayangkan jika keadaan ini dapat diubah, dimana anak yang kurang bisa dikuatkan hati dan mentalnya, tentu anak tersebut akan tetap percaya diri dan ingin belajar, bukan justru takut dan malu karena akan dilabeli bodoh apabila ia tidak mampu.  Sebab cheetah tak akan mampu berenang dengan cepat karena bukan ahlinya, tapi ia mampu berlari dengan kencang karena kemampuannya.

Cacatnya sistem pendidikan di Indonesia tidak hanya berhenti disitu saja, karena entah apa yang salah namun sepertinya masih banyak ketidak selarasan yang terjadi didunia pendidikan Indonesia. Stereotip yang ada tidak hanya menjurus pada individu sebagai anak pintar dan bodoh, melainkan juga sebuah institusi. Bagaimana tidak terdapat kejadian dimana seorang anak berhasil lulus dan menyelesaikan studinya dengan baik kemudian pada saat ingin mencari pekerjaan terkendala dengan reputasi insitusi yang dianggap tidak sebaik institusi lainnya. Padahal, institusi yang terkenal baik tersebut belum tentu menghasilkan anak-anak unggulan secara keseluruhan, dan belum tentu pula institusi dengan reputasi kurang baik ini tidak mampu menghasilkan anak-anak unggulan. Karena sebenarnya dalam dunia pekerjaan bukan hanya penguasaan materi yang dibutuhkan, melainkan juga skill atau keahlian yang dimiliki. Rasanya heran saja bagaimana bisa seseorang ditolak karena institusi, padahal ia memiliki keahlian dibidang tersebut.

Sistem pendidikan di Indonesia sepertinya masih cenderung kolot dan mengacu pada angka-angka yang didapatkan, padahal sebenarnya skill yang dibutuhkan seseorang. Untuk apa meraih nilai sempurna apabila tidak memiliki skill didalamnya? Tentunya hal tersebut akan sia-sia, karena dunia kerja tidak mengenal angka, melainkan keahlian dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Bukannya angka tidak perlu, tetapi sepertinya proses untuk mencapai itu semua yang paling penting. Namun, sistem pendidikan di Indonesia cenderung tidak mengenal prosesnya itu, yang terpenting adalah nilai yang tertera dalam kertas-kertas itu.

Oleh sebab itu masih banyak sekali catatan-catatan untuk sistem pendidikan Indonesia saat ini. Bukannya tidak bagus, melainkan alangkah lebih baiknya apabila selalu diupayakan untuk lebih bagus lagi. Upaya-upaya ini tidak perlu berupa perubahan langsung dalam skala besar, melainkan dimulai saja dari skala kecil sudah sangat baik sekali. Dimulai dari pemberian pemahaman terhadap orang tua saja dahulu sebagai orang yang akan memberikan anak pelajaran dalam lingkup keluarga. Pemberian pemahaman ini guna menghilangkan stereotip yang selama ini berkembang, karena tidak jarang orang tualah yang sering kali melabeli anaknya sebagai anak yang pintar ataupun sebaliknya. Selain itu, hal ini juga dikarenakan oleh pendidikan di sekolah yang tidak akan berhasil berubah apabila tidak diiringi oleh perubahan pada pendidikan di rumahnya. Karena secara keseluruhan dalam kesehariannya anak akan lebih sering berada di rumah dibandingkan sekolahnya.

Selain dari upaya membenahi stereotip dari pendidikan dalam lingkup yang kecil, pemerintah pun harus senantiasa berbenah dan tidak menutup diri terhadap kritikan ataupun masukan yang ada. Sebagai pemangku kebijakan, sudah sepatutnya hal-hal yang sekiranya dapat menunjang sistem pendidikan dapat diberlakukan dengan tegas dan menyeluruh, dan hal-hal yang sekiranya perlu perubahan maka harus segera diperbaharui agar kemajuan pendidikan dapat selalu berjalan beriringan dengan kemajuan zaman. Karena rasanya aneh saja apabila zaman semakin maju dan canggih, tetapi sistem pendidikan di Indonesia stuck dan hanya berputar disitu saja. Tidak hanya bergantung pada pemerintah, sebenarnya besar atau kecilnya perubahan sistem pendidikan di Indonesia nantinya akan sangat bergantung pada bagaimana kontribusi banyak orang, baik dari tenaga pengajar ataupun masyarakat umum. Semua lini masyarakat harus saling bekerja sama untuk menciptakan sistem pendidikan yang dinamis dan adaptif terhadap perubahan, serta tidak lagi terkotak dalam sebuah kesenjangan, baik dari segi institusinya ataupun individualnya. (*)

PENULIS: Sri Kasnelly, S.E., MM (Dosen STAI An-Nadwah Kuala Tungkal)