JAMBI, AksesNews – Jambi adalah provinsi memiliki populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) paling besar di kawasan pulau Sumatera bagian tengah. Populasi terbesar terkonsentrasi di kabupaten Tebo yaitu di kawasan ekosistem Bukit Tigapuluh yang diperkirakan terdapat sekitar 143 ekor gajah sumatera.
Namun dengan pesatnya pembangunan proses alih fungsi kawasan hutan yang menjadi habitat gajah menjadi perkebunan dan pemukiman semakin marak sehingga potensi pertemuan manusia dan gajah semakin tinggi sehingga konflik antara manusia dan gajah kadangkala tak terhindarkan. Dari awal tahun 2018 hingga bulan Juni 2018 terdapat 188 konflik di kawasan ini.
Untuk mengatasi konflik antara gajah dan manusia ini akhirnya pemerintah dan para pihak yang terdiri dari para penggiat konservasi, pihak swasta dan masyarakat sepakat untuk membangun koridor gajah di kawasan ekosistem Bukit Tigapuluh.
“Total luas kawasan yang diperuntukkan untuk koridor gajah adalah sekitar 54.000 hektar,” kata Rahmad Saleh Simbolon, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi.
Adapun areal tersebut terdiri dari konsesi PT. Royal Lestari Utama (RLU)/Lestari Asri jaya (LAJ) seluas 11.000 hektar, PT. Alam Bukit Tigapuluh (ABT) seluas 35.000 hektar, PT. Wirakarya Sakti seluas 5.000 hektar dan 3.000 hektar di kawasan hutan Negara.
Luasan ini baru alokasi sementara karena menurut Rahmad akan dilakukan pengecekan di lapangan dan kajian teknis terlebih dahulu agar kawasan koridor tersebut tepat sasaran. Areal ini diharapkan cukup untuk menjadi wilayah jelajah populasi gajah yang ada di kawasan tersebut.
Untuk mendukung pengelolaan konservasi diluar kawasan konservasi ini BKSDA Jambi mendapat dana dari Bank Pembangunan Jerman (KfW) sebesar Rp 2,1 miliar yang akan dikucurkan pada tahun 2019. “Model kawasan konservasi untuk gajah tidak bisa hanya spot-spot saja tapi harus membentuk ruang yang terintegrasi,” tegas Rahmad.
Kawasan koridor gajah yang berada diluar kawasan konservasi ini akan dibangun berdasarkan kriteria Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) yaitu menjadi sebuah kawasan yang dapat menciptakan konektivitas lansekap agar kantong populasi dapat saling terhubung untuk menjaga proses ekologi secara alami seperti imigrasi, emigrasi dan kolonisasi lokal. Dalam kawasan koridor ini nantinya akan dilakukan kajian untuk menentukan zonasi.
“Dengan manajemen pengelolaan kawasan berdasarkan zonasi ini akan memungkinkan fungsi konservasi dapat terwujud dan fungsi produksi kawasan koridor dapat terus berlangsung,” jelas Rahmad.
Tantangan terbesar yang dihadapi dalam membangun koridor ini adalah kawasan yang dialokasikan untuk koridor gajah tersebut adalah perambahan seperti yang saat ini tengah dihadapi oleh PT. RLU.
Konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri) karet ini telah mengalokasikan konsesinya yang terdiri dari kawasan konservasi, daerah perlindungan satwa liar, zona penyangga dan sempadan sungai sebagai areal koridor satwa liar. Namun 64 persen dari total kawasan itu telah dirambah pendatang.
“Sebagai langkah awal yang akan dilakukan untuk merealisasikan kawasan koridor ini adalah pembuatan masterplan pengelolaan alamiah habitat gajah bersama para pihak yang akan dimulai tahun depan,” jelas Rahmad.
Oleh karena itu, menurutnya dalam membangun koridor gajah ini semua pihak baik swasta, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah daerah agar habitat gajah dapat direstorasi sehingga populasi yang tersisa dapat diselamatkan.
Aspek sosial, ekonomi, teknis serta kebijakan adalah aspek yang harus diperhatikan dalam mengkonservasi habitat gajah. “Dari aspek kebijakan misalnya pemerintah daerah dapat menjalankan perannya dalam menyusun aturan tata ruang daerah,” ungkap Rahmad.
Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Aryen Dessy mengatakan bahwa pihaknya mendorong komitmen pelaku usaha yang bergerak dibidang kehutanan dan non-kehutanan untuk membangun kemitraan khususnya pada kawasan yang merupakan wilayah jelajah gajah. Ia juga juga mengungkapkan perlunya diadakan pendekatan dan sosialisasi pada masyarakat di sekitar hutan mengenai keberadaan satwa dilindungi itu.
Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) memprediksi selama 10 tahun terakhir setidaknya 700 ekor gajah sumatera mati akibat diracun, diburu untuk diambil gadingnya.
Pada tahun 1985 Indonesia masih memiliki 44 kantung populasi gajah Sumatera namun pada tahun 2007 jumlahnya turun menjadi 25 kantung populasi dan hanya 12 kantung saja yang memiliki populasi berjumlah lebih dari 50 ekor dan salah satu kantung tersebut adalah kawasan ekosistem Bukit Tigapuluh. (Rls)