Mengenal Lebih Dekat Shulh serta Hubungannya dalam Perbankan Syariah

JAMBI, AksesNews – Dalam ajaran Islam, salah satu upaya perdamaian yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan dalam kegiatan muamalah dikenal dengan Shulh. Shulh ialah akad diantara dua pihak yang berpekara untuk memecahkan perselisihan yang terjadi diantara keduanya.

Contohnya, penuduh mengklaim mempunyai hak terhadap tertuduh dan tertuduh mengakuinya karena tidak kenal dengannya, kemudian penuduh berdamai dengan tertuduh dengan sebagian haknya pada tertuduh untuk menghindari perselisihan dan sumpah diharuskan jika terjadi penolakan dari salah satu pihak (Al-Jazairi, 2005).

Pengertian Shulh dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri jenis perselisihan atau kesepakatan untuk menyelesaikan pertikaian secara damai dan saling memaafkan.

Perdamaian (Ash-Shulhu) dalam syariat Islam sangat dianjurkan, sebab dengan adanya perdamaian antara pihak yang bersengketa, maka akan memelihara silaturahmi sekaligus mengakhiri permusuhan antar pihak. Mengenai hukum Shulh, Shulh diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil dalam surat An-Nisaa’ ayat 128 yaitu sebagai berikut:

Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”. Dan juga dasar hukum dari al-hadits adalah sabda Rasulullah SAW, “Shulh (perdamaian) itu diperbolehkan diantara kaum Muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram” (H.R. Abu Daud dan At-Tarmizi) (Hakim, 2013).

Pesan yang dapat dicermati dari hadits di atas, yaitu bahwa perdamaian merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk pencapaian dan perwujudan perdamaian, sama sekali tidak dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah tegas di dalam Islam.

Orang-orang islam yang terlibat di dalam perdamaian mesti mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak berisikan hal-hal yang mengarah kepada pemutarbalikan hukum, yaitu yang halal menjadi haram atau sebaliknya.

Dasar hukum lain yang mengemukakan di adakannya perdamaian di antara para pihak-pihak yang bersengketa adalah ijma’. Para ahli hukum sepakat bahwa penyelesaian pertikaian antar pihak yang bersangketa telah disyariatkan dalam ajaran Islam dengan memperhatikan 4 prinsip, antara lain:

1. Adil dalam memutuskan perkara sengketa, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pengambilan keputusan.

2. Kekeluargaan dan menjamin kerahasian sengketa para pihak.

3. Win-win solution.

4. Menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan).

Rukun Shulh yaitu: (1) Adanya ijab; (2) Adanya Kabul; dan (3) Adanya lafal. Terhadap ijab kabul, dapat dilakukan dengan lafadz atau dengan apa saja yang menunjukan adanya ijab kabul yang menimbulkan perdamaian, seperti perkataan: “Aku berdamai denganmu, kubayar utangku padamu yang lima puluh dengan seratus” dan pihak lain menjawab “Telah aku terima”.

Ketiga rukun ini, sangat penting artinya dalam suatu perjanjian perdamaian, sebab tanpa adanya ijab, kabul, dan lafal, maka tidak diketahui adanya perdamaian diantara mereka. Apabila rukun ini telah terpenuhi, maka dari perjanjian perdamaian tersebut lahirlah suatu ikatan hukum, yaitu masing-masing pihak berkewajiban untuk menaati isi perjanjian.

Perlu diketahui, beberapa istilah dalam Ash-shulhu yaitu: Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat Islam distilahkan musalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan di sebut musalih’anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk mengakhiri pertingkaian/pertengkaran dinamakan dengan musalih’alaihi atau di sebut juga badalush shulh.

Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan kepada hal berikut ini: Pertama, perihal subjek. Orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak menurut hukum, dan juga harus mempunyai kekuasaaan atau kewenangan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian itu.

Kedua, perihal objek. Harus memenuhi ketentuan: (1) berbentuk harta (baik berwujud maupun tidak berwujud) yang dapat dinilai, diserahterimakan, dan bermanfaat; (2) dapat diketahui secara jelas, sehingga tidak menimbulkan kesamaran dan ketidakjelasan, yang dapat menimbulkan pertikaian baru. Ketiga, Persoalan yang boleh didamaikan hanya sebatas menyangkut hal-hal: (1) pertikaian itu berbentuk harta yang dapat di nilai; (2) pertikaian menyangkut hal manusia yang dapat diganti. Dengan kata lain, perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan muamalah (hukum privat). Sedangkan persoalan-persoalan yang menyangkut hak Allah tidak dapat di lakukan perdamaian.

Dunia perbankan merupakan hal yang lumrah dikenal masyarakat. Hal ini dikarenakan jasa perbankan sangat membantu dalam kegiatan perekonomian, khususnya dibidang financial (keuangan) serta kegiatan ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan. Sehingga berperan penting dalam pelaksanaan kegiatan masyarakat. Dewasa ini, perkembangan ilmu dan teknologi semakin maju dan pesat, dimana perbankan diharuskan untuk selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman untuk melayani nasabah dengan baik.

Pelayanan yang baik terhadap nasabah berhubungan dengan pelaksanaan operasional bank, khususnya perbankan syariah. Dalam pelaksanaan suatu kegiatan tentunya tidak selalu berjalan lancar seperti yang diinginkan oleh pihak-pihak terkait. Walaupun telah diatur oleh Undang-Undang, atau telah diadakan kesepakatan/perjanjian antara pihak yang terkait, tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu perselisihan atau sengketa didalamnya yang diakibatkan dari munculnya penyimpangan dari kesepakatan/perjanjian tersebut.

Setiap perselisihan tentu harus diselesaikan oleh pihak yang terlibat didalamnya. Apabila terjadi sengketa atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, maka terhadap sengketa tersebut terdapat alternatif dalam penyelesaiannya. Selama ini lembaga yang menangani adalah BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang mulai dioperasikan pada tanggal 1 Oktober 1993, lalu diganti menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (DSN) dan KUH Perdata.

Oleh karenanya sesuai dengan klausula dalam akad yang berwenang menyelesaikan setelah lembaga Alternatif penyelesaian sengketa adalah Pengadilan Negeri. Setelah lahirnya UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang pengadilan agama, dalam pasal 49 yang berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikannya adalah Pengadilan Negeri Menurut Gemala Dewi dalam bukunya dinyatakan sebagai berikut: Penyelesaian perselisihan dalam hukum perikatan Islam, pada prinsipnya boleh dilaksanakan melalui tiga jalan, yaitu pertama dengan jalan perdamaian (Shulhu), yang kedua dengan jalan Arbitrase (tahkim) dan yang terakhir melalui proses peradilan (Al Qadha). Dalam pelaksanaan operasional di bank syariah maupun penyelesaian sengketa berlandaskan hukum Islam dan direalisasikan dengan menganut prinsip-prinsip syariah.

Secara ringkas hikmah ash-shulhu dapat mengakibatkan penyelesaian suatu masalah dengan jalan yang sama-sama adil bagi kedua belah pihak dan tetap berada dijalan allah serta syariat islam. Serta melindungi seorang muslim dari penyakit hati terutama iri dan dengki juga menghindari seseorang dari sikap curiga terhadap lawannya dalam suatu sengketa atau masalah.

Penulis:
Atifa Zulfa Khoiriyah
Qissy Sabilla
Redi Rezaldi
Febriansyah

Mahasiswa FEB Akuntansi
Universitas Jambi