Beranda Akses Tragedi Kanjuruhan, Penggunaan Gas Air Mata Keputusan yang Buruk

Tragedi Kanjuruhan, Penggunaan Gas Air Mata Keputusan yang Buruk

Dr. Noviardi Ferdi. Foto: Ist
Dr. Noviardi Ferdi. Foto: Ist

JAMBI, AksesNews – Berbagai kritikan terus mengalir dari berbagai kalangan untuk tragedi mematikan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan beberapa waktu lalu. Salah satunya pengamat sosial di Jambi, Dr Noviardi Ferdi, juga menanggapi hal tersebut, Senin (10/10/2022).

Dirinya saat dikonfirmasi mengatakan, sangat prihatin dengan Tragedi Kanjuruhan, atas tindakan oknum aparat di lapangan bola yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dunia dan mengalami cedera.

“Belajar dari tragedi Hillsborough yang terjadi pada 1989 di Inggris dan tragedi festival musik Love Parade di Jerman pada 2010, dan dari acara tersebut berakhir sebagai tragedi kelam sebagai akibat dari kombinasi tindakan polisi, komunikasi yang buruk, serta akses jalan keluar yang buruk bagi penonton,” ujarnya.

Noviardi mengatakan, ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk memastikan hal seperti Kanjuruhan tidak terjadi lagi, dan penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pencahayaan stadion untuk memberitahu penonton bahwa pertunjukan telah selesai dapat membantu mereka keluar area stadion secara tertib.

“Penonton pada dasarnya meninggalkan tempat dengan cara yang sama seperti ketika mereka masuk, jadi semua pintu keluar harus terbuka, dapat diakses dan memiliki penerangan yang baik,” jelasnya.

Ia menyebutkan, para penggemar sepak bola di Indonesia dikenal dengan rasa antusiasme yang tinggi. Sehingga, risiko kerusuhan yang tidak terkendali harus diantisipasi yakni dengan memisahkan penonton ke beberapa zona yang berbeda dan teknik tersebut digunakan dalam pertandingan Piala Dunia.

“Cara ini dapat mengurangi ketegangan di stadion karena akan meminimalisir kemungkinan para penggemar dari tim yang berbeda bertemu satu sama lain,” tuturnya.

Polisi juga dapat membentuk barikade penghalang namun jangan terlihat konfrontatif dan menjelang akhir pertandingan, untuk memberi sinyal kepada kerumunan penonton bahwa polisi ada di sana untuk mengamankan situasi dan tidak perlu dipersenjatai.

“Lalu masalah penggunaan gas air mata,
Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) telah menetapkan dalam peraturan keselamatannya, bahwa penggunaan senjata api atau gas pengendali massa oleh petugas keamanan atau polisi tidak diperkenankan,” tegasnya.

Seperti di Malang, penggunaan gas air mata dalam situasi yang sudah meningkat secara emosional telah memperparah keadaan dan berujung pada kekacauan, walaupun orang-orang yang terkena gas air mata bisa pulih, tetap ada risiko konsekuensi kesehatan jangka panjang, terutama bagi mereka yang terpapar dalam dosis besar dan orang-orang dengan kondisi medis tertentu.

“Penggunaan gas air mata adalah keputusan yang buruk dan telah memperburuk situasi. Presiden FIFA Gianni Infantino menyebut peristiwa ini sebagai hari kelam bagi semua yang pihak terlibat dalam persepakbolaan dan tragedi yang sulit dipahami,” terangnya.

Noviardi menegaskan, tanpa memahami nuansa perilaku massa, strategi dan tindakan pengendalian yang dilakukan bisa menjadi kesalahan fatal.

“Lebih dari dua dekade kemudian, kita masih melihat kesalahan yang sama terjadi, bahkan sampai menyebabkan hilangnya nyawa dan tentu saja pihak berwenang harus mengevaluasi prosedur pengamanan dalam pertandingan secara menyeluruh. Ia berharap ini akan menjadi tragedi sepak bola terakhir di negara ini,” katanya. (Wjs/*)