Beranda Akses Cerita Mukhtar Hadi ‘Borju’ Dirikan Sekolah Alam Raya Muara Jambi

Cerita Mukhtar Hadi ‘Borju’ Dirikan Sekolah Alam Raya Muara Jambi

JAMBI, AksesNews – Mukhtar Hadi atau yang kerap disapa Borju melihat masyarakat, termasuk anak-anak di Desa Muara Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, meninggalkan tradisi lokal, dan merasa asing dengan Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi. Kondisi itu membuatnya prihatin, dan resah.

Sebagai pemuda desa, ia tidak ingin masyarakat tidak mengetahui apa-apa tentang KCBN Muarajambi. Ia juga tidak mau masyarakat meninggalkan kearifan lokal yang tumbuh di desanya.

“Tahun 2010 saya datang ke sekolah di dekat candi. Sekitar 5 kilometer dari kampung ini, ada satu candi lagi. Saya penasaran apakah anak-anak tahu candi. Kita tanyakan. Ternyata ada yang tahu, tetapi sekitar 90 persen tidak tahu,” katanya, kepada Jambikita, Rabu (02/06/2022).

Karena itulah, pada tahun 2010 lalu, ia bersama komunitas yang kelak bernama Perkumpulan Rumah Menapo, mendirikan Sekolah Alam Raya Muara Jambi. Melalui sekolah non-formal ini, Borju bersama pegiat kebudayaan lainnya, memberikan edukasi tentang kebudayaan dan lingkungan kepada anak-anak.

Borju mengatakan dirinya terinspirasi dengan sejarah KCBN Muarajambi yang dulunya menjadi pusat pendidikan terbesar di Asia Tenggara. Ia ingin menerapkannya melalui sekolah dengan moto “Semua Orang itu Guru, Alam Raya Sekolahku”.

“Kita buka referensi, dan pelajari bahwa Candi Muara Jambi ternyata pusat pendidikan. Bagaimana marwah itu kami angkat? Dari sini kami terinspirasi membuat sekolah gratis, Sekolah Alam Raya Muara Jambi. Saya rasa tidak ada sekolah gratis (dari pemerintah). Dari pada mati penasaran, kita buat sekolah gratis. Kita realisasikan sendiri,” tuturnya.

Sekolah ini rutin beroperasi pada hari minggu sekitar pukul 08.00 WIB hingga 11.00 WIB. Ada sekitar 15 anak yang berpartisipasi dalam satu kali pembelajaran.

Tema pembelajaran yang diterapkan, misalnya Penelusuran Situs Sejarah. Dengan tema ini anak-anak menelusuri KCBN Muarajambi. Tidak hanya mengenal benda cagar budayanya saja, tetapi juga mengetahui flora yang tumbuh di sekitar lingkungan kawasan itu.

Ada pula tema Tanaman Obat: Warisan Hidup Desa Muara Jambi. Pembelajaran dengan tema ini cukup spesial, karena dilakukan dengan 8 kali pertemuan. Anak-anak mengenal tanaman obat yang tumbuh di Desa Muara Jambi, hingga menanamnya dengan pot yang dikreasikan sendiri.

Pembelajaran dengan tema Petualangan Segelas Air, kata Borju, cukup berkesan untuk anak-anak. Sebab, anak-anak berpetualang dengan berbekal air minum, dan mengenal siklus air saat berada di 3 titik, yakni di pinggir sawah, di tengah sungai yang tercemar sekaligus terdapat transportasi angkutan batu bara, serta di masjid dekat Candi Gumpung yang menjadi tempat air digunakan untuk berwudhu. Anak-anak saat itu mendapatkan penjelasan bahwa air menjadi sumber kehidupan, dan dapat menyatukan manusia.

Borju mengatakan selama ini pihaknya beroperasi secara mandiri sebagai komunitas. Tidak ada campur tangan dari pemerintah. Lagi pula, Sekolah Alam Raya Muara Jambi bisa menerapkan metode yang diharapkan, walau di tengah keterbatasan.

“Mereka (pemerintah) terkesan tidak peduli. Tidak ada bantuan. Mereka tahu, tapi hanya sebatas itu. Kita juga tidak ‘membebek’ atau memasukkan proposal. Kita tetap berjalan,” ujarnya.

Sekolah Alam Raya Muara Jambi juga menjadi wadah anak-anak mengenal berbagai kebudayaan, dan perkembangan teknologi (seperti teknik dokumentasi). Sehingga, Borju bersama komunitasnya, dapat mengizinkan siapa saja untuk mengajar di sekolah tersebut.

“Tapi, kita berkenalan dahulu. Tidak langsung mengajar. Karena kedepannya kita angkat di hadapan anak-anak bahwa yang mengajarnya adalah orang baik,” tuturnya.

Sekilas tentang Perkumpulan Rumah Menapo

Sebagai pegiat kebudayaan, Borju juga aktif dalam Perkumpulan Rumah Menapo. Komunitas yang anggoatnya sekitar 35 orang ini, bergerak untuk melestarikan KCBN Muarajambi, mempertahankan tradisi lokal, serta memberdayakan masyarakat agar dapat terlibat dalam perkembangan wisata KCBN Muarajambi.

“Kita mempunyai kampanye pelestarian Kawasan Candi Muara Jambi yang di sisi lainnya ada masyarakat yang masih mempertahankan sosial, tata cara hidup, hingga acara tradisi. Ini kita angkat, dikaji di komunitas,” ungkap Borju.

Ia mengatakan komunitas ini sudah aktif pada tahun 2007 dengan nama yang berbeda, yakni Balai Kreasi Pemuda Candi Muara Jambi. Selanjutnya, berubah menjadi komunitas bernama Padmasana. Namun, pada tahun 2018, agar terhindar dari hal yang tidak diinginkan, pihaknya menggunakan nama Perkumpulan Rumah Menapo.

“Saat mengajukan ke Kemenkumham dengan nama Padmasana, kami disuruh diskusikan nama Padmasana ke Bimas Hindu terlebih dahulu. Sampai di sana, mereka memberikan apresiasi. Setelah itu, dijelaskan kenapa nama ini tidak bisa dipakai. Karena ini berhubungan dengan agama. Walaupun nama ini tembus, kedepannya bisa bermasalah. Akhirnya kita ganti Perkumpulan Rumah Menapo. Ini nama lokal. Menapo itu gundukan tanah yang didalamnya ada candi,” jelasnya.

Dalam perkembangannya, kata Borju, komunitas ini juga menjadi media untuk memperkenalkan berbagai kebudayaan. Tidak hanya tradisi yang ada di Desa Muara Jambi.

“Ada kawan-kawan yang menemukan gelang Sebalik Sumpah. Itu kan punya Suku Anak Dalam. Tidak ada di sini. Lalu, ini diceritakan ke kawan di kampung. Ternyata pohon untuk membuat gelangnya, ada di sini. Sehingga kami membuatnya, serta memberikan cerita tentang Suku Anak Dalam gelang ini pada pengunjung,” pungkasnya. (Sob/*)