JAMBI, AksesNews – Sebanyak lima band musik bergenre metal hingga punk mengguncang Jambi, bertepatan dengan peringatan dua dekade kasus pembunuhan seorang aktivis, Munir.
Lima band itu ialah Dark Light Ruins, Unarmed, Biang Raw, Rebel Treason, dan Youth Apocalypse.
Mereka tampil di acara musik dengan tema “September Hitam” di Rambu House, Kota Jambi, Sabtu (07/09/2024) malam. Beberapa lagu yang dimainkan kala itu ada yang liriknya berkaitan dengan pelanggaran HAM.
Sobar Al Fahri, gitaris Rebel, mengatakan event musik kali ini diwarnai dengan peringatan beberapa kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung selesai di Indonesia. Peringatan ini sesuai dengan historis musik bawah tanah yang tumbuh dengan gagasan perlawanan.
“Dengan narasi ‘menolak lupa’ kita mengingatkan, khususnya kepada generasi muda, bahwa masih ada beberapa kasus pelanggaran HAM yang belum selesai atau mungkin memang sengaja tidak diselesaikan. Suara ini harus terus digaungkan sampai deretan kasus pelanggaran HAM benar-benar ditangani,”katanya.
Selain kasus pembunuhan Munir, terdapat kasus pelanggaran HAM yang juga terjadi pada bulan September, masa Orde Baru. Salah satunya, peristiwa Tanjung Priok yang menimbulkan korban jiwa, setidaknya 9 orang.
Ismet Raja Tengah Malam, aktivis sekaligus musisi (vokalis Biang Raw), mengatakan masyarakat bisa menyuarakan perlawanan melalui musik.
“Dengan musik kita bisa mendengungkan perlawanan, khususnya malam ini, kita menolak lupa,” ujarnya.
Karhutla Menjadi September Hitam di Jambi
Sedangkan di Jambi, pada September, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mengakibatkan warga terancam ISPA. Hak dasar warga, yaitu kesehatan, terampas karena kasus ini.
Ginda Bahari, perwakilan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, mengatakan kasus karhutla di Jambi tidak ditangani dengan serius. Perusahaan dibiarkan atau tidak diproses hukum walau lahan konsesinya terbakar. Penegakan hukum hanya menyasar warga biasa.
“Penegak hukum tidak berkaca bahwa saat ini ada 9 perusahaan yang areanya kebakar, baik itu di sektor HTI maupun sektor perkebunan. Kita melihat adanya ketimpangan penegakan hukum di sini,”katanya.
Ia mengatakan ketika terjadi karhutla di area konsesi, tidak ada proses penegakan hukum atau sanksi pada perusahaan. Tidak bisa menjadi contoh penegakan hukum yang baik.
“Kita melihat pelaku-pelaku, baik di segi HAM dan lingkungan, itu beda perlakuan. Pada tahun 2019 terjadi karhutla yang mana hanya dua perusahaan yang diproses hukum,”ujarnya.
Ginda mengatakan Walhi Jambi berharap negara benar-benar melindungi warganya. Bukan mengambil atau merampas hak warga. (Rls/*)